Debra dan Gabriel

Sebuah rutinitas, sebuah kewajiban dilatar ruang yang kadang indah bersama langit biru dan kadang berkabut dan gerimis dan seperti hari-hari yang berjalan tanpa kenal jedah. Aku hanya seoran guru sekolah menengah di sekolah yang mungkin juga tidak ada dalam peta dan honorer pula. Memang, kadang hari berjalan tanpa jedah. Didadaku kadang ada rasa tak sabar menunggu sesuatu jadi berubah, namun jujur aku juga tidak melakukan apa-apa sebagai sebuah bekal perubahan. Bahkan bermimpi pun aku kadang tak yakin. Keseharian hanya berlalu begitu cepat, menjemukan dan penuh dengan tarikan nafas yang sama setiap detik nya. sama beratnya dengan keluh. Setahun sudah begini, setahun sudah mimpi-mimpi dulu yang begitu bersemangad menemui titik kematian nya yang berlahan, namun mungkin kini benar-benar telah tiada. Tinggallah sebuah rutinitas yang sesak dan sekali lagi begitu getir.

Aku sarjana. Bagi ibuku yang petani, sarjana sangat mahal harganya, sangat membanggakan dan sebuah prestasi dan sebuah piala termahal dan paling bergengsi dalam hidupnya. Aku sarjana pertama dilingkingan keluarga dan tetangga-tetanggaku. Dan ibu begitu bangga. Namun, ternyata dijakarta aku hanyalah sampah. Ijazahku sama tak berharganya dengan Koran berita banjir hari kemaren. Segera ada ditukang loak dan mungkin pembungkus ikan asin. Kebanggaan ibuku dan juga prestasiku mati disini, dijakarta aku sangat tidak berarti. Lalu kenapa tidakbisa kukatakan kalau mimpi dan kebanggaan itu kini juga tinggal sejarah yang belum pernah menuju puncak nya. aku sadar sendiri, hidup begitu pahit, getir dan menyesakkan.

Aku terbiasa susah dikampung, namun disini ternyata jauh lebih susah. Gaji sebagai honorer tak cukup untuk diri sendiri. Dan tinggal menumpang dirumah saudara adalah sebuah solusi, solusi pahit yang tidak bisa tidak untuk ditelan. Aku bekerja dan aku menumpang tinggal, dan seddangkan aku sarjana. Aku kemaren saat wisuda begitu membuat ibu bangga. Lalu hatiku lelah dan nafasku semakin terasa berat dan berat lagi. Berharap semua berakhir, berharap datang suatu awalyang indah, berharap doa, harap dan mimpi dulu jadi nyata. Namun dinding-dinding bergambar Jakarta dan rel-rel kereta yang kaku menuju BSD membuat ia terkubur bersama waktu. Aku ingin berrmimpi, karena dulu aku pernah mendengar walau sekali bahwa mimpi adalah sebuah awal kenyataan nanti. Namun kini aku takut bermimpi, kerena mimpi utama ku telah gagal. Dengan gelar sarjana yang membanggakan, ku seberangi lautan dan ku hirup debu Jakarta dengan harapan agar benar ia jadi nyata. Agar benar ibu tak hanya bisa bahagiah karena selembar ijazah, namun benar-benar bangga dengan seorang anak perempuan nya yang bernama Aku.

***
Rumah ini berlantai dua, reot dan rapuh. Disebuah gang kecil tanah abang. Pemiliknya adik tiri ayahku yang setiap dua menit sekali batuk-batuk. Ia ibu muda beanak dua yang pucat, lemah tak berdaya. Yang nyaris menyerah kalah karena paru-paru yang bengkak dan bernanah. Suaminya pedagang minyak tanah keliliing berdarah Betawi-Sunda. Yang kabarnya mulai dekat dengan janda penjaja sayur. Namun tante ku hanya bisa pasrah, lalu apa lagi yang bisa ia lakukan kalau bukan begini. Setiap hari makan nasi putih dengan lauk garam, lebih baik adalah gula jawa dan jika lebih baik lagi adalah ikan asin dengan lalapan cabe mentah. Tidak ada cara ala kampung yang bisa kulakukan disini. Memetik daun ubi dipekarangan, memetik rawit yang tumbuh takmenentu dibelukar belakang rumah, memancing belut sawah, memancing ikan gabus sungai atau mencari siput sawah dan bahkan memancing buruk jangkung jika padi telah panen. Namanya ruak-ruak. Namun disini, dan inilah Jakarta.

Aku tidur dilantai dua, sebuah kamar kecil tak berjendela. Menaiki tangganya seperti memanjat pohon, sangat evektif agar tak memakan ruang. Bau nya pengap dan sumpek. Dinding rapuh nya dilapisi bagian dalam kantong semen. Namun telah juga dimakan waktu dan tirisan hujan. Baunya sangat tak sedap. Disini aku punya selembar tikar pandan using, bantal yang sudah sam akerasnya dengan batu, dan dua keranjang buah dari plastic sebagai lemari dan meja tulis. Lalu tak lupa sebauh ember berukuran seddang, usang dan tak lagi bertangkai, sebagai penampung rembesan jika hujan datang.

***
Lalu, dengan pelan nya waktu berjalan, kini satu setengah tahun aku disini. Tidak ada yang berubah kearah yang lebih baik. Etek Rini semakin tenggelam dengan sakitnya, suaminya kini telah menikahi perempuan lain, dan kebutuhan keluarga sekang semakin sempit terasa. Alif sekarang sudah telah berpakain merah putih. Sederhana pemberian tetangga. Dan tugas ku sekarang semakin berat. Mengurusi tek Rini yang sakit, anak-anak nya dan sekuat tenaga membuat gaji honorer ku tersisa, agar sesekali kami bisa makan ikan basah. aku merasa ibu ku jauh lebih tidak butuh dari tek Rini. Dan disini aku jauh lebih dibutuhkan. Gaji mengajar les privat ku beberapa bulan ini Alhamdulillah cukup untuk membayar tagihan listrik dan air PAM yang nyaris diputus. Disini mereka lebih membutuhkan ku.

Dengan derita mereka, aku kini merasa kembali bisa bermimpi. Tek Rini dan anak-anak nya butuh sesuatu yang lebih. Anak-anak nya butuh uang dan perhatian. Suami nya yang sudah jarang pulang tak lagi bisa diharapkan. Alif dan Nadia kini lebih membutuhkan aku. Mereka butuh aku dan aku harus bermimpi. Jika aku tak snaggup bermimpi untuk ku, maka kau harus bermimpi untuk mereka. Aku kembali merasa berarti karena ada yang mengharapkanku. Karena ada yang membutuhkanku. Sekalilagi aku berfikir dan lirih dalam doa yang tidak terlalu panjang
“Allah, jika memang aku bisa bangkit dan berdaya karena orang lain, maka biarkan lah aku menjadi hebat untuk mereka. Jika memang kebahaianku karena membuat segurat senyum diwajah mereka, maka datangkanlah mereka lebih banyak untukku. Sungguh aku ingin hidupku bukanlah sebuah kematian. Ya Allah, izinkan lah aku melakukan nya.”

***
Rumah berlantai dua dan sumpek itu kini telah terjual, dan aku menyaraknkan tek Rini untuk membeli rumah kecil diperumahan sederhana saja. Serpong, kota baru dan disebuah perumahan kelas bawah. Tipe 34 dengan dua kamar kecil, kamar mandi, ruang tamu mini dan dapur yang direhap seadanya. Namun setidaknya ini lebih baik dan lebih sehat. Walau kesehatan tek Rini semakin memburuk, dan suaminya kini tak tau rimbanya.

Alif pindah sekolah dan aku juga, sekarang aku mengajar sebagai honorer disekolah dasar tempat Alif bersekolah. Dan biaya hidup mereka kini bergantung pada sisa penjualan rumah yang tinggal tidak seberapa. Setelahnya, dan inilah mimpiku kini. Membuat mereka tetap melanjutkan hidupnya. Walau untuk kesembuhan tek Rini aku hanya bisa berdoa, karena dokterpun telah menyerah.

***
Setelah sholat subuh, aku membuka jendela kamar dan menghirup udara segar dan sejuk. Walau perumahan ini berada sedikit kepedalaman. Desa Cibogo, dalam perkampungan dan rerumpunan bamboo, tapi sungguh ini jauh lebih menenangkan dari Jakarta. Lalu, seikat mawar berwarna outih terletak di depan jendela ku. Aku melangkah kepintu, mengambil nya. ada tulisan indah disana

“untuk kak Aisyah, kami telah lama mencari kakak, kami fikir tidak akan menemukan.
Hanya berharap kakak mendengarkan cerita kami lagi.
Kakak benar, Senang hanya ada bila hati menciptakan nya.
jika kakak ada waktu, kami ingin bercerita lagi dengan kakak di depan Monas.
Salam sayang
Debra-Gabriel”

***
Debra-Gabriel……….
Anak kembar setengah bule itu. Aku ingat wajah mereka. Aksen bicaranya dan cerita mereka berdua. Ibunya Berasal dari Bandung dan ayahnya warga Negara Prancis dan kini tinggal di Canada. Air mata dan cara perpakaian mereka. Bertemu denganku didepan Monas, saat aku membawa Alif dan Hanifah jalan-jalan 7 bulan lalu. Saat itu ia hanya bercerita, sepertinya tanpa sempat berfikir, apakah aku mendengar mereka atau tidak, apakah aku peduli atau tidak. Namaun saat itu aku harus peduli.
“tidak tau mengapa, aku percaya padamu, kalau kau mau aku seperti yang kutakuti itu terserahmu. Dengan berbicara padamu aku akan merasa lega. Tapi saja, ini keputusanku. Ku mohon jika kau akhirnya mengadukan ku kepolisi, tidak apa, tapi jangan bawa Gabriel, karena ia menolak untuk menceritakan ini kesiapapun. Gabriel itu kembaranku. Aku sudah sesak, tidak bisa menahan nya, aku selalu membayangkan nya, aku tidak pernah ingin melakukan nya, tapi kini Ahmad yang menjadi korban nya, aku kasiha pada dia, dia bilang pada ku tidak apa demi nona, tapi aku kasihan padanya, aku tak berharap kau membantu ku, aku hanya akan merasa legah jika kau tak cerita pada sesiapa. Tanpa mereka tau, tanpa ahmad dan istriny atau, aku selalu berkirim uang untuk kebutuhan nya. aku sayang anak-anak mereka. Dan aku tau, ia juga sangat menyayangi aku dan Gabriel. Makanya Ia rela dipenjara demi kami, namun aku harus melakukan sesuatu untuk mengeluarkan nya. tapi aku tidak tau ahrus bagai mana.
Semenjak mami meninggalkan papi, mami semakin gila. Mami meningalkan papi di Canada, padahal papi sngat sayang sama mami dan selalu menurut apa mau mami. Namun mami tergoda banyak pria dan selalu bertraveling dengan mereka, papi kami kutubuku. Lalu yang terakhir, mami meninggalkan mami, pulang kesini dan selalu berburu pria, namun mami terliaht begitu sayang pada orang itu. Aku jijik, kenapa mami malah sangat menyayanginya. Seringkali kalau mami lagi tidak dirumah, dia datang dan meminta aku atau gabrielmelayani sex nya dia, kami menolak dan jijik. Dia sering memaksa, dan terakhir kami diancam dibunuh kalau tidak mau. Sedangkan setiap cerita sama mami, mami membela dia. Dia pria Belanda Botak itu rakus dan jorok. Tapi kenapa mami sayang sama dia. Ia mengancam aku dengan pistol. Aku terdesak dan entah dari mana tiba-tiba Gabriel datang membawa balok kayu itu, memukulnya hingga berdarah. Dia berteriak-terriak dan jatuh. Aku sangat jengkel, mengambil balok kayu dari tangan Gabriel dan memukulnya lagi. Lalu ia mati. Kami semu panik, aku bilang buang saja ke kali, tapi kata Gabriel itu tidak mungkin. Kami panic sekali. Dan tiba-tiba mami datang, dia menceracau seperti orang mental, dia memukuli kami dengan tas ditangan nya. namun akhirnya mami sepakat menyuruh ahmad membuang pria botak itu dengan memotong-motongnya. Namun mami mengancam kami, kalau ketahuan maka kami lah yang memang harus dipenjara.
Akhir nya memang ketahuan, entah bagaimana tiba-tiba banyak polisi datang kerumah. Aku menggigil ketakutan, dan mama malah memang lagi ke prancis bersama kekasih barunya lagi. Tiba-tiba ahmad datang, tenang saja, kalian akan baik-baik saja. Biar pak Ahmad yang ngaku aja, bapak kan udah tua, tapi kalian janji ya jangan bandel dan belajar yang benar. Entar bapak aja yang ngaku bunuh londo itu. Biar bapak ja dipenjara, tak apa. ya…….ya………….”
Kak, aku merasa bersalah, Gabriel juga. kami merasa berrsalah sama pak ahmad dan mami. Pak ahmad itu orang Semarang kak, istrinya meninggal seminggu yang lalu. Itu membuat aku semakin merasa bersala.
Share on Google Plus

About aisyah syahidah

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment

komentar nya tulis disini