Catatan sebuah perjalanan

Segores Catatan

Seperti orang lain pada umumnya, setelah menamatkan kuliah aku berharap dapat bekerja dan meringankan beban orang tua. Apalagi kami bukanlah tergolong keluarga mampu. Usia ibu sudah mendekati 70 tahun, rasanya sangat pantas sekali jika beliau mulai berhenti bekerja di ladang. Sejak ayah meninggal (waktu aku berumur 3 tahun), ibu menjadi tulang punggung keluarga untuk menghidupi ke enam anaknya. Kami semua terbiasa melakukan pekerjaan apapun untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sekarang, tiga kakakku telah berkeluarga.

Aku sangat bersyukur kepada Allah karena telah berhasil menyelesaikan kuliahku. Tiga bulan setelah wisuda, aku mendapat tugas mengajar di salah satu SMP yang terletak cukup jauh dari desa tempat kami tinggal, beda kabupaten. Daerah di pinggiran danau di Kabupaten Agam Sumatera Barat. Waktu itu kondis transportasi menuju daerah itu masih sangat sulit. Kendaraan bermotor atau “ojek” 15 kilometer dari akses jalan raya kabupaten. Kendaraan dari kota Bukittinggi hanya sekali sehari. Arena itu aku menetap di tak jauh dari sekolah dan pulang ke kampungku setiap Rabu sore sehabis mengajar atau Kamis pagi. Kira-kira bulan ke-4 mengajar, aku terkena sakit radang sendi. Hampir semua sendiku membengkak dan sangat sakit jika disentuh dan digerakkan. Selera makanku lenyap, aku juga terkena insomia (susah tidur).

Semuanya terjadi begitu tiba-tiba. Aku mencoba memahami apa yang sesungguhnya terjadi dan memasrahkan semua pada Allah. Keluargaku menyarankan berobat ke orang pinter (pengobatan tradisonal maupun dukun). Aku tidak keberatan asal tidak dikait-kaitkan dengan mistik atau tidak aneh-aneh. Di samping itu aku juga terus berobat ke rumah sakit. Tapi waktu itu pengobatan t\belum terlalu intensif, karena dokternya selalu ganti-ganti dan beda diagnosa. Aku pasrah sambil terus berfikir jalan keluar dan ikhtiar apa yang dapat dilakukan. Aku tahu semua keluargaku mersa prihatin dengan kondisi ini, begitu juga aku. Ibu adalah sosok yang paling aku fikirkan. Aku tahu mungkin hatinya luluh melihat kondisiku. Tapi beliau tetap bersabar dan selalu menghiburku. Kondisiku makin menurun. Aku malah makin kesulitan untuk berjalan atau melakukan gerakan-gerakan yang lain. Aku lihat di cermin wajahku kuyu, bibir pecah-pecah dan entahlah...Terus dengan semua terapi, dan latihan gerakan sendiri, kondisiku mulai membaik beberapa bulan kemudian.

Aku memutuskan untuk pergi ke tempat kakakku yang menetap di daerah Riau. Aku masih belum sepenuhnya sehat, sendiku masih saja sering kaku dan sakit. Dua hari di sana aku langsung memasukkan lamaran ke sejumlah sekolah dan lembaga pendidikan lainnya. Kondisiku drop lagi...aku menangis. Hampir sebulan aku di sana, akhirnya aku memutuskan pulang ke kampung. Kakakku bekerja dan jadi sering bolos karena khawatir dengan kondisiku. Aku diantar sampai terminal, aku bersikeras untuk pulang sendiri karena tidak mau merepotkan. Saat menunggu keberangkatan, tanpa kuduga sahabat lamaku datang menemuiku. Padahal sebelumnya di telfon kita sepakat untuk tidak bertemu. Aku tidak mau dia melihat kondisiku yang sedang lemah ini. Pertemuan yang sangat mengharukan, semua mata di seolah tertuju pada kami. Kami berdua berpelukan, kami berdua menangis. “ Mana mungkin akau melewatkan perjumapaan denganmu”, Apapaun kondisimu, kamu akan tetap menjadi sahabat terbaik, kakak terbaiku yang pasti kuat menghadapi semua ujian”, ungkapnya. Ya Allah....aku menyeka bulir-bulir bening yang membahasi pipiku. Kami berpisah...dan bus mulai melaju meninggalkan sahabatku makin jauh. Fikiranku kini tertuju pada Ibu. Sepanjang jalan airmataku dan dapat kutahan. Aku terus berdoa agar Ibu senantiasa bersabar mengiringi perjuanganku, anaknya. “ Ibu, maafkan anakmu ini, yang belum mapu membahagiakanmu...bis terus melaju menuju kampung kelahiranku yang tak begitu jauh dari kota Bukittinggi.

Setibaku di rumah, ibu menyambutku dengan haru. Aku kembali pada terapi tradisional. Ibu menemaniku dengan penuh kasih sayang dan semangat. Beliau masih harus terus bekerja ke ladang sepanjang hari untuk membiayai terapiku.Mulainya hatimu ibu...sampai suatu saat kulihat beliau, datang dengan mata sebak, ada tangisan yang tertahan di matanya. Beliau menyembunyikan dariku. Setelah ku mohon berkali-kali beliau akhirnya mencurahkan kegelisahannya. Seorang kerabat kami baru saja meninggal di usia 35 tahunan. Sebelumnya dia mengalami sakit yang kurang lebih sama seperti aku...aku tak sanggup menahan air mata...sejenak hening...

“ Ibu, jalan hidup setiap orang pasti berbeda. Walaupun kondisiku mirip dengan orang itu tapi belum tentu sama akhirnya”, kataku terbata-bata dan menahan agar butiran bening ini tidak tutun ke pipiku. “ Ibu harus yakin, aku pasti akan sembuh, bisa seperti dulu lagi bahkan mungkin lebih baik dari dulu”, aku tersenyum sambil menyeka airmata”. Dan kalaupun sampai di sini batas waktuku”, kerongkonganku seperti tersumbat....” aku ikhlas Bu”,....airmataku makin deras mengucur....

Beberapa waktu kemudian, sekitar 2 bulan atau lebih kondisiku mulai membaik. Alhamdulillah...aku rajin berlatih berjalan lagi. Dan beberapa bulan kemudian aku sudah bekerja di Jakarta. Semoga aku dapt menjadi anak yang berbakti.


*** Untuk Ibu tercinta dan keluarga serta sahabat-sahabat yang selalu hadir menguatkanku


‘’Sepenggal catatan cinta seorang kawan”
Share on Google Plus

About aisyah syahidah

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment

komentar nya tulis disini